[agar (tak) segera henti] hujan

inginnya, hujan bisa kuseru agar tak segera ia berhenti. biarlah, tak perlu lagi bertriliun butir lagi ia jatuh. bahkan miliaran pun tak perlu. cukup jutaan atau ratusan ribu saja, ribuan sampai hanya ratusan butir pun cukuplah. biarlah sedikit, asal cukup untuk menahan aku, dan dia yg sedang duduk disampingku ini, agar tak segera beranjak dari duduknya kami. agar tak segera melepaskan diri dari tonjolan tembok dingin yg kami duduki. tonjolan tembok yg sebenarnya bukanlah berfungsi sebagai tempat duduk tapi kami duduki juga di teras toko buku itu. setelah sekian ukuran waktu terlewatkan didalam toko itu, berdua mengelilingi nyaris semua sisi – sisi dan rak – rak di dalam toko buku itu. mengomentari beberapa judul buku, membicarakan isinya, mana yg sudah dia baca, mana yg sudah aku baca, mana yg belum, apa makna isi buku – buku itu.

tentunya, terucap juga dalam hati harapan itu; agar hujan tak segera berhenti. selain karena entah mengapa indah setiap rintik dan rinciknya menyentuh tanah, meruapkan dan membilas khas bau keringat tanah, memenuhi panggilan rindu dari sang lekuk tanah agar segera ia genangi, segera ia penuhi, sampai meluap biarkan terjadi. pelan saja bunyi rintik dan rincik itu, menjadi alunan nada latar belakang apa yg aku bicarakan, dengan dia, yg duduk disampingku ini, di tonjolan tembok dingin, di teras toko buku itu. teruslah merintik dan merincik wahai hujan, agar ada cukup waktu bagi dia yg duduk disampingku menyampaikan pesan yg ia simpan selama sekian ukuran waktu tak bertemu, agar tiba kala aku perdengarkan pada dia yg duduk disampingku, bunyi hati yg sebenarnya sebelumnya kuniatkan kusimpan saja.

untuknya, kubiarkan saja, rintik dan rincik itu membasahi bahuku dan sebagian rambutku, ketika setelah sekian ukuran waktu berlalu saling mengungkap bunyi hati dan menjadi kering tembolok kami, sehingga keperlukan juga beranjak dari tonjolan tembok dingin itu untuk menghampiri kios depan toko buku untuk meraih air seduhan daun-daunan yg dimaniskan kristal tebu yg kemudian dikemas dalam kaca berbentuk tabung itu. juga satu dua potong penganan fermentasi kedelai yg dibalut terigu dan kemudian dikeringkan dalam rendaman olahan sari kelapa atau sawit di atas tungku yg dirajang api. agar hangat perut kami, agar kalah hembus dingin yg mencoba menggoyahkan agar tak tahan duduk, penganan agar betah, terutama dia, duduk disampingku ini. dan tukar sapa serta kata terus mengalir.

kata-katanya,yg ia pilih entah spontan entah memang waktu telah mengasah kemampuan pemilihannya, mengalir.

tawanya, dia yg duduk disampingku ini, beberapa kali terdengar diantara dan disela saling tukar kata diantara kita. pelan saja, tapi nadanya selalu terdengar menyenangkan. seolah – olah luruh seluruh pahit yg menggayut di dinding jiwa ketika mendengar ia tertawa.

sanggahannya, terhadap argumenku, sering tak berdasar dan membuatku tertawa, tapi lebih sering lagi sanggahannya bernas dan membuatku tersenyum. dan waktu mencair, seperti cairnya awan diatas langit sana dan menghujan.

“seharusnya”, dia, yg duduk disampingku ini menyampaikan, “bila manusia berpasangan, janganlah ia menafikan apa yg sebenarnya pasangannya bisa raih, sebaik mungkin setinggi mungkin yg bisa diraih, tidak terbatasi, tidak terhalangi, tidak terbebani” dan aku hanya tersenyum, hati tak bisa menolak selain bersetuju dengan apa yg dia yg duduk disampingku sampaikan, elok nian dan benar apa yg dia yg duduk disampingku ini utarakan. tapi akhirnya kusampaikan juga, “mungkin kata seharusnya lebih baik diganti dengan kata sebaiknya”, kemudian aku lanjutkan “dan kata tidak janganlah digunakan, sebaiknya gunakan saja kata jangan terlalu”. bibirnya bergerak, ah dia bisa tersenyum, dari bibir indahnya kemudian muncul suara “ih khas kamu banget, suka terlalu dalam menilik makna kata”, dan kalimat selanjutnya ia bunyikan diiringi tawa kecil yg semakin membuat manis pipinya “perasaan dulu kamu suka protes karena bangsa kita, sering, terlalu sering, dan terlalu suka menghaluskan pesan, sampai kabur makna aslinya, tidak tegas, dan bukannya kamu tidak pernah suka itu?” lagi – lagi aku tak bisa menolak selain bersetuju pada yg dia yg duduk disampingku ini sampaikan. terlalu dalam dia mengenalku, menakutkan, sekaligus menyenangkan. selalu kupikir adalah sebuah kesalahan membuka tabir diriku pada dia yg duduk disampingku ini lebih dari yg kubuka pada orang lain, ternyata memang terbukti sebuah kesalahan. kesalahan yg menyenangkan, kesalahan yg mungkin saja tidak pernah akan keberatan akan aku ulangi lagi, dan lagi, dan lagi. hanya pada dia yg duduk disampingku ini.

tampaknya, didengar juga seruan dan harapan itu agar tak segera ia berhenti, hujan itu. masih saja rincik dan rintik itu menebar keindahannya. jatuh satu – satu, beribu berjuta, tapi jatuh satu per satu. berjeda setiap sepersekian milidetik. dan setiap lekuk tanah sukacita merengkuh setiap satu satu rincik dan rintik itu, rindunya tak pernah hilang dan selalu dimintakan walau sudah triliunan butir ia rengkuh, bahkan berkali kali dalam sehari. walau telah puluhan, ratusan, ribuan kali dalam setahun, ia rengkuh juga selalu. walau waktu mungkin tak kenal kata akhir, ia dirindukan selalu. walau mungkin waktu memang memiliki akhir, maka diantara awal dan akhir itu ia dirindukan.

rinciknya, membasahi aspal, trotoar, marka jalan, mengalir, mengarus, bahkan paving block setengah terbuka di halaman toko buku itu pun tak mampu menyerap dan menampiaskannya ke badan jalan.

rintiknya, mengusap daun daun di pohon pohon asem reges (Pithecelobium dulce) sepanjang bagian tengah jalan di depan toko buku itu, di salah satu ruas utama nadi kota yg gravitasinya selalu tak kuasa kutolak.

rincik&rintiknya, diserap tanah, osmosis dengan akar angsana (Pterocarpus indicus) dan mahoni (Swietenia macrophylla) di sepanjang pinggir ruas jalan di depan toko buku itu. bahkan bangunan tua di ujung jalan itu, yg saat itu dijadikan tempat orang bersantap potongan sembelihan hewan berkolesterol tinggi (Capra aegagrus hircus) yg nampaknya sangat disukai bangsa – bangsa yg kaya kultur kuliner dan hewan kaki dua (gallus gallus) yg ada di seluruh bagian dunia , daging dalam tusukan bambu yg digarang diatas bara api, gedung itu nampak kuyup bak pemuda muncul ke permukaan dari dalamnya (dan semoga masih) serta beningnya beberapa sungai di utara kota diatas bukit sana,. kota yg bagian terhidupnya, terhiruknya, terpikuknya, sesungguhnya hanya bagian dasar dari bentuk mangkuk yg dibentuk alam. dan karenanya, tampias awan dihadang setiap dinding alam tinggi yg -terlalu besar sebenarnya untuk dinamakan bukit, namun terlalu kecil untuk dinamakan gunung-. tak kuasa awan menembus hadangan dinding tinggi itu, dan akhirnya dia, awan itu, memilih untuk memenuhi panggilan rindu setiap lekuk tanah di kota itu.

“kelihatannya”, pemilik mata indah yg duduk disampingku ini menegur diamku mengamati hujan “kamu masih saja mencintai hujan ya”, dan ditepuknya punggung jari2ku, “tatap dan sorot mata itu, selalu begitu setiap kamu mengamati hujan”. ah benar ternyata, ia terlalu dalam mengenalku. menakutkan. menyenangkan. kubalas dengan senyum, “bukannya kamu juga sama”, kutanya lagi, “apakah sejak dini kamu mencintai hujan, sebelum bertemu dan mendengarku, atau karena mendengar dan melihatku mencintai hujan jadi kamu ikut terbawa rasa terhadap hujan?”, dan kulanjutkan dan disampaikan juga akhirnya “…dan tatap serta sorot mata itu ketika aku mengamati hujan, tidakkah kamu lihat dan rasa hal sama ketika aku menatapmu, jauh ke dalam matamu?” senyum hilang dari bibir elok itu tiba -tiba, tapi tak dapat disembunyikan rona merah itu di pipi milik dia yg dia duduk disampingku ini.

akhirnya, kemudian sunyi menguasai. dia duduk disampingku, diam. aku duduk disampingnya, diam. dan hanya hujan yg bernyanyi.

matanya, yg selalu terlihat cantik bagiku, jendela hatinya itu, hanya bisa mengirim isyarat. bahwa memang sejak lama ia tahu itu.matanya, yg kedalamannya selalu ingin kuselami, jendela jiwanya itu, hanya bisa mengirim pesan, memang sejak lama ia menunggu bunyi hati itu terucapkan.matanya, yg entah mengapa sering membuatku terkesiap ketika memandangku, menunjukkan tanya, mengapa harus setelah sekian lama ukuran waktu, bunyi hati itu baru tersampaikan.entah mengapa perempuan selalu saja ingin mendengar (kembali) sesuatu yg sebenarnya sudah ia rasa dan tahu.

pastinya, einstein bukanlah sembarang bicara, ketika ia sampaikan, elastis dan relatiflah yg dinamakan waktu. beribu detik menempuh jalan menuju toko buku itu dibawah taburan rincik dan rintik untuk bertemu dia yg skrg duduk disampingku sungguh terasa tak berujung, berjuta detik terlewatkan tak terasa ketika bersamanya, di toko buku itu. tapi memang kami tak mampu mengalahkan kuasa waktu. sulit menepis kenyataan bahwa yg memiliki awal tak bisa menolak untuk memiliki akhir. saat langit tak lagi seterang seperti ketika di detik pertama aku hampiri dia dan menatap lekat matanya di toko buku itu, dan kemudian tatapanku saat itu ia balas dengan senyum, di dalam toko buku itu. dan kini, setelah sekian ukuran waktu terlewatkan, setelah saat diluar sana makin redup, giliran dia yg duduk disampingku, di luar toko buku itu, di tonjolan tembok dingin di terasnya, menatap lekat mataku. kemudian…

disampaikannya, “ada yg menungguku, dan hujan nampaknya tak deras lagi. aku harus pergi”. dengan enggan aku jawab “bila tiba waktu, tibalah, biarkan tiba, biarkan terjadi.” sambil menghela nafas kutambahkan “ya, akupun ada yg menunggu, aku harus kembali.” sambil menunduk, ia pun juga menghela nafas, diucapkannya “bila tiba nanti saatnya, kembalilah. dan untuk kini, seperti kusampaikan tadi, ada yg menungguku, aku harus pergi” dan tak lagi ia lekat menatapku, tetap tertunduk, dia kini tak lagi duduk disampingku, beranjak perlahan, menyeret langkah yg biasanya ringan, mengeluarkan kunci dari tas mungilnya, dibukanya kunci pintu kendaraan itu dari tombol kendali jarak jauh, dibukanya pintu kendaraan berbalut perak terang, menutup pintu, menyalakan mesih, memundurkan, melambaikan tangan pelan. dan roda roda kendaraan itu menggilas pelan lekuk tanah yg masih dilimpasi dampak jutaan rintik rincik, meninggalkan bekas roda di tanah di bahu jalan, antara teras toko buku dan jalan aspal. kupandangi ia menjauh, menjauh, menjauh, jauh.

saatnya, tiba sudah. tak ada pilihan lain selain menyeret tubuh ke kendaraan hitam itu, kubuka pintunya, kunyalakan mesinnya, kugerakkan tanpa memperhatikan aba2 tukang parkir, nyaris lupa kuserahkan dua lembar kertas bergambar pattimura itu. kubiarkan rintik & rincik memenuhi kaca depan tanpa tersapu, dan entah berapa ukuran waktu terlewati, beribu detik, berpuluh ribu detik, terasa sungguh tak berujung.

 

 

ditulis spontan dan muncul pertama kali di https://www.facebook.com/note.php?note_id=392108067516%2F%22

 

 

Tinggalkan komentar