nyasar

Aku rindu tersesat, 

menikmati rasa kebingungan, 

bertanya & diombangambing berbagai macam jawaban, 

mencari & semakin jauh tersuruk petunjuk,

untuk kemudian sepanjang pencarian mengalami melihat mendengar merasakan apa yg sebelumnya tak terjalani tak terlihat tak terdengar tak terasa.

 

Aku ingin kehilangan arah, 

kangen mencecap manis asam pahit peluh ketika menempuh, 

terantuk jatuh & lalu kembali berdiri tanpa yakin tak akan terjatuh lagi : (karenamu),

namun berdiri kembali yakin pasti,

untuk kemudian ternampak tegas semua bekas peluh dan luka jatuh, 

di setiap milidetik kau lihat aku tersenyum dan tertawa.

 

Dan sungguh aku ingin lagi hatijiwa merindupenuh, 

pada tanya: akankah diujung nanti menemukanmu.

 

pubilkasi lain, klik disini

 

pertama kali ditampilkan pada 14 nov, di : https://www.facebook.com/note.php?note_id=10150350111302517

[agar (tak) segera henti] hujan

inginnya, hujan bisa kuseru agar tak segera ia berhenti. biarlah, tak perlu lagi bertriliun butir lagi ia jatuh. bahkan miliaran pun tak perlu. cukup jutaan atau ratusan ribu saja, ribuan sampai hanya ratusan butir pun cukuplah. biarlah sedikit, asal cukup untuk menahan aku, dan dia yg sedang duduk disampingku ini, agar tak segera beranjak dari duduknya kami. agar tak segera melepaskan diri dari tonjolan tembok dingin yg kami duduki. tonjolan tembok yg sebenarnya bukanlah berfungsi sebagai tempat duduk tapi kami duduki juga di teras toko buku itu. setelah sekian ukuran waktu terlewatkan didalam toko itu, berdua mengelilingi nyaris semua sisi – sisi dan rak – rak di dalam toko buku itu. mengomentari beberapa judul buku, membicarakan isinya, mana yg sudah dia baca, mana yg sudah aku baca, mana yg belum, apa makna isi buku – buku itu.

tentunya, terucap juga dalam hati harapan itu; agar hujan tak segera berhenti. selain karena entah mengapa indah setiap rintik dan rinciknya menyentuh tanah, meruapkan dan membilas khas bau keringat tanah, memenuhi panggilan rindu dari sang lekuk tanah agar segera ia genangi, segera ia penuhi, sampai meluap biarkan terjadi. pelan saja bunyi rintik dan rincik itu, menjadi alunan nada latar belakang apa yg aku bicarakan, dengan dia, yg duduk disampingku ini, di tonjolan tembok dingin, di teras toko buku itu. teruslah merintik dan merincik wahai hujan, agar ada cukup waktu bagi dia yg duduk disampingku menyampaikan pesan yg ia simpan selama sekian ukuran waktu tak bertemu, agar tiba kala aku perdengarkan pada dia yg duduk disampingku, bunyi hati yg sebenarnya sebelumnya kuniatkan kusimpan saja.

untuknya, kubiarkan saja, rintik dan rincik itu membasahi bahuku dan sebagian rambutku, ketika setelah sekian ukuran waktu berlalu saling mengungkap bunyi hati dan menjadi kering tembolok kami, sehingga keperlukan juga beranjak dari tonjolan tembok dingin itu untuk menghampiri kios depan toko buku untuk meraih air seduhan daun-daunan yg dimaniskan kristal tebu yg kemudian dikemas dalam kaca berbentuk tabung itu. juga satu dua potong penganan fermentasi kedelai yg dibalut terigu dan kemudian dikeringkan dalam rendaman olahan sari kelapa atau sawit di atas tungku yg dirajang api. agar hangat perut kami, agar kalah hembus dingin yg mencoba menggoyahkan agar tak tahan duduk, penganan agar betah, terutama dia, duduk disampingku ini. dan tukar sapa serta kata terus mengalir.

kata-katanya,yg ia pilih entah spontan entah memang waktu telah mengasah kemampuan pemilihannya, mengalir.

tawanya, dia yg duduk disampingku ini, beberapa kali terdengar diantara dan disela saling tukar kata diantara kita. pelan saja, tapi nadanya selalu terdengar menyenangkan. seolah – olah luruh seluruh pahit yg menggayut di dinding jiwa ketika mendengar ia tertawa.

sanggahannya, terhadap argumenku, sering tak berdasar dan membuatku tertawa, tapi lebih sering lagi sanggahannya bernas dan membuatku tersenyum. dan waktu mencair, seperti cairnya awan diatas langit sana dan menghujan.

“seharusnya”, dia, yg duduk disampingku ini menyampaikan, “bila manusia berpasangan, janganlah ia menafikan apa yg sebenarnya pasangannya bisa raih, sebaik mungkin setinggi mungkin yg bisa diraih, tidak terbatasi, tidak terhalangi, tidak terbebani” dan aku hanya tersenyum, hati tak bisa menolak selain bersetuju dengan apa yg dia yg duduk disampingku sampaikan, elok nian dan benar apa yg dia yg duduk disampingku ini utarakan. tapi akhirnya kusampaikan juga, “mungkin kata seharusnya lebih baik diganti dengan kata sebaiknya”, kemudian aku lanjutkan “dan kata tidak janganlah digunakan, sebaiknya gunakan saja kata jangan terlalu”. bibirnya bergerak, ah dia bisa tersenyum, dari bibir indahnya kemudian muncul suara “ih khas kamu banget, suka terlalu dalam menilik makna kata”, dan kalimat selanjutnya ia bunyikan diiringi tawa kecil yg semakin membuat manis pipinya “perasaan dulu kamu suka protes karena bangsa kita, sering, terlalu sering, dan terlalu suka menghaluskan pesan, sampai kabur makna aslinya, tidak tegas, dan bukannya kamu tidak pernah suka itu?” lagi – lagi aku tak bisa menolak selain bersetuju pada yg dia yg duduk disampingku ini sampaikan. terlalu dalam dia mengenalku, menakutkan, sekaligus menyenangkan. selalu kupikir adalah sebuah kesalahan membuka tabir diriku pada dia yg duduk disampingku ini lebih dari yg kubuka pada orang lain, ternyata memang terbukti sebuah kesalahan. kesalahan yg menyenangkan, kesalahan yg mungkin saja tidak pernah akan keberatan akan aku ulangi lagi, dan lagi, dan lagi. hanya pada dia yg duduk disampingku ini.

tampaknya, didengar juga seruan dan harapan itu agar tak segera ia berhenti, hujan itu. masih saja rincik dan rintik itu menebar keindahannya. jatuh satu – satu, beribu berjuta, tapi jatuh satu per satu. berjeda setiap sepersekian milidetik. dan setiap lekuk tanah sukacita merengkuh setiap satu satu rincik dan rintik itu, rindunya tak pernah hilang dan selalu dimintakan walau sudah triliunan butir ia rengkuh, bahkan berkali kali dalam sehari. walau telah puluhan, ratusan, ribuan kali dalam setahun, ia rengkuh juga selalu. walau waktu mungkin tak kenal kata akhir, ia dirindukan selalu. walau mungkin waktu memang memiliki akhir, maka diantara awal dan akhir itu ia dirindukan.

rinciknya, membasahi aspal, trotoar, marka jalan, mengalir, mengarus, bahkan paving block setengah terbuka di halaman toko buku itu pun tak mampu menyerap dan menampiaskannya ke badan jalan.

rintiknya, mengusap daun daun di pohon pohon asem reges (Pithecelobium dulce) sepanjang bagian tengah jalan di depan toko buku itu, di salah satu ruas utama nadi kota yg gravitasinya selalu tak kuasa kutolak.

rincik&rintiknya, diserap tanah, osmosis dengan akar angsana (Pterocarpus indicus) dan mahoni (Swietenia macrophylla) di sepanjang pinggir ruas jalan di depan toko buku itu. bahkan bangunan tua di ujung jalan itu, yg saat itu dijadikan tempat orang bersantap potongan sembelihan hewan berkolesterol tinggi (Capra aegagrus hircus) yg nampaknya sangat disukai bangsa – bangsa yg kaya kultur kuliner dan hewan kaki dua (gallus gallus) yg ada di seluruh bagian dunia , daging dalam tusukan bambu yg digarang diatas bara api, gedung itu nampak kuyup bak pemuda muncul ke permukaan dari dalamnya (dan semoga masih) serta beningnya beberapa sungai di utara kota diatas bukit sana,. kota yg bagian terhidupnya, terhiruknya, terpikuknya, sesungguhnya hanya bagian dasar dari bentuk mangkuk yg dibentuk alam. dan karenanya, tampias awan dihadang setiap dinding alam tinggi yg -terlalu besar sebenarnya untuk dinamakan bukit, namun terlalu kecil untuk dinamakan gunung-. tak kuasa awan menembus hadangan dinding tinggi itu, dan akhirnya dia, awan itu, memilih untuk memenuhi panggilan rindu setiap lekuk tanah di kota itu.

“kelihatannya”, pemilik mata indah yg duduk disampingku ini menegur diamku mengamati hujan “kamu masih saja mencintai hujan ya”, dan ditepuknya punggung jari2ku, “tatap dan sorot mata itu, selalu begitu setiap kamu mengamati hujan”. ah benar ternyata, ia terlalu dalam mengenalku. menakutkan. menyenangkan. kubalas dengan senyum, “bukannya kamu juga sama”, kutanya lagi, “apakah sejak dini kamu mencintai hujan, sebelum bertemu dan mendengarku, atau karena mendengar dan melihatku mencintai hujan jadi kamu ikut terbawa rasa terhadap hujan?”, dan kulanjutkan dan disampaikan juga akhirnya “…dan tatap serta sorot mata itu ketika aku mengamati hujan, tidakkah kamu lihat dan rasa hal sama ketika aku menatapmu, jauh ke dalam matamu?” senyum hilang dari bibir elok itu tiba -tiba, tapi tak dapat disembunyikan rona merah itu di pipi milik dia yg dia duduk disampingku ini.

akhirnya, kemudian sunyi menguasai. dia duduk disampingku, diam. aku duduk disampingnya, diam. dan hanya hujan yg bernyanyi.

matanya, yg selalu terlihat cantik bagiku, jendela hatinya itu, hanya bisa mengirim isyarat. bahwa memang sejak lama ia tahu itu.matanya, yg kedalamannya selalu ingin kuselami, jendela jiwanya itu, hanya bisa mengirim pesan, memang sejak lama ia menunggu bunyi hati itu terucapkan.matanya, yg entah mengapa sering membuatku terkesiap ketika memandangku, menunjukkan tanya, mengapa harus setelah sekian lama ukuran waktu, bunyi hati itu baru tersampaikan.entah mengapa perempuan selalu saja ingin mendengar (kembali) sesuatu yg sebenarnya sudah ia rasa dan tahu.

pastinya, einstein bukanlah sembarang bicara, ketika ia sampaikan, elastis dan relatiflah yg dinamakan waktu. beribu detik menempuh jalan menuju toko buku itu dibawah taburan rincik dan rintik untuk bertemu dia yg skrg duduk disampingku sungguh terasa tak berujung, berjuta detik terlewatkan tak terasa ketika bersamanya, di toko buku itu. tapi memang kami tak mampu mengalahkan kuasa waktu. sulit menepis kenyataan bahwa yg memiliki awal tak bisa menolak untuk memiliki akhir. saat langit tak lagi seterang seperti ketika di detik pertama aku hampiri dia dan menatap lekat matanya di toko buku itu, dan kemudian tatapanku saat itu ia balas dengan senyum, di dalam toko buku itu. dan kini, setelah sekian ukuran waktu terlewatkan, setelah saat diluar sana makin redup, giliran dia yg duduk disampingku, di luar toko buku itu, di tonjolan tembok dingin di terasnya, menatap lekat mataku. kemudian…

disampaikannya, “ada yg menungguku, dan hujan nampaknya tak deras lagi. aku harus pergi”. dengan enggan aku jawab “bila tiba waktu, tibalah, biarkan tiba, biarkan terjadi.” sambil menghela nafas kutambahkan “ya, akupun ada yg menunggu, aku harus kembali.” sambil menunduk, ia pun juga menghela nafas, diucapkannya “bila tiba nanti saatnya, kembalilah. dan untuk kini, seperti kusampaikan tadi, ada yg menungguku, aku harus pergi” dan tak lagi ia lekat menatapku, tetap tertunduk, dia kini tak lagi duduk disampingku, beranjak perlahan, menyeret langkah yg biasanya ringan, mengeluarkan kunci dari tas mungilnya, dibukanya kunci pintu kendaraan itu dari tombol kendali jarak jauh, dibukanya pintu kendaraan berbalut perak terang, menutup pintu, menyalakan mesih, memundurkan, melambaikan tangan pelan. dan roda roda kendaraan itu menggilas pelan lekuk tanah yg masih dilimpasi dampak jutaan rintik rincik, meninggalkan bekas roda di tanah di bahu jalan, antara teras toko buku dan jalan aspal. kupandangi ia menjauh, menjauh, menjauh, jauh.

saatnya, tiba sudah. tak ada pilihan lain selain menyeret tubuh ke kendaraan hitam itu, kubuka pintunya, kunyalakan mesinnya, kugerakkan tanpa memperhatikan aba2 tukang parkir, nyaris lupa kuserahkan dua lembar kertas bergambar pattimura itu. kubiarkan rintik & rincik memenuhi kaca depan tanpa tersapu, dan entah berapa ukuran waktu terlewati, beribu detik, berpuluh ribu detik, terasa sungguh tak berujung.

 

 

ditulis spontan dan muncul pertama kali di https://www.facebook.com/note.php?note_id=392108067516%2F%22

 

 

secangkir

air, bening, jernih.

sama sajalah dimanapun dan bagaimanapun, air ya air., begitu kata mereka tentang air, H2O. air keran, air sumur, yg dimasak sampai mendidih, dan air dalam kemasan botol, di teko, dalam kendi, ya tetap air. jadi air itu biasa sajalah. diingat sesaat kala dahaga, dan ketika hasrat dahaga telah usai pun kemudian dilupakan.
namun tetap saja, tak akan pernah terlupakan. air yg itu, yg diminum mentah dari pancuran mata air yg kutampung di cangkir kaleng mungil itu, yg kita minum berbagi dari cangkir yg sama. saat kita sejenak rehat dari melangkahkan kaki menempuh jalur bukit, lembah, menyeberang sungai, menempuh rimba, dari satu pos ke pos lain, dari satu shelter ke shelter selanjutnya. berdasarkan nomor urut, kamu pasti satu setengah jam lebih dahulu berangkat dalam penempaan hiking individual ini. namun kemudian kutemukan dirimu terduduk diam penuh keringat tanpa tenaga di gubuk pinggir jalur petani itu. menyerah pada lelah. dengan bekal air yg sudah kosong,. tentu saja otomatis kuberikan botolku dan tandas lenyap isinya dalam hitungan detik. ketika akhirnya kutemukan pancuran mata air di lekuk lembah yg tertutup batang pohon kelapa dan dikelilingi pohon pisang – pisangan itu, kamu juga yg lebih banyak habiskan dari cangkir kaleng itu. tak peduli lagi dimasak atau tidak, higienitas yg selalu diupayapaksa untuk selalu kamu dapatkan, lenyap. dan yg kuingat ketika akhirnya kemudian adalah; setengah menyeret dirimu yg memegang erat tali ransel di belakang punggungku agar tetap bisa berjalan dan tak tertinggal. terjawab sudah, keheranan saat awal di pos start tadi, apakah kuat seseorang mungil, seseorang seperti kamu -dan segala stereotype mereka yg sepertimu- menempuh perjalanan hiking seperti ini. dan entah kenapa, rela dan kunikmati saja mau tidak mau menjadi salah satu yg paling akhir memasuki finish, bersamamu. dulu sekali, di masa itu.

dan memang air saja awalnya, bening, jernih. dalam cangkir. secangkir.

dua kemasan celup kecil saja, simpan dalam cangkir kosong, baru kemudian diisi air jernih mendidih. dan biarkan saja kemasan celup itu tenggelam dan kemudian isi sari ampul celup pun mengurai dan tak lagi jernih air mendidih itu, memekat. semakin pekat semakin baik bagiku. seringnya tanpa gula, kadang kalaupun ingin cukuplah setengah sendok cangkir mungil saja pemanis itu, cukup sebagai aksen manis minimalis, amat minimal. kontras yg indah. manis, ditengah pahit pekat sari daun kering. kontras yg indah. teh, yg instan saja, cukuplah bagi yg memang memilih praktis. namun, bila ada waktu, aku taburkan serbuk sari daun kering itu ke saringan, biasanya saringan lebih lebar atau pas ukuran cangkir, sehingga pas disimpan dan tertahan kuat di bibir atas cangkir. biarkan air jernih mendidih melewati saringan dan biarkan serbuk serbuk itu tetap tertahan di saringan. dilakukan berulang, tuang keluar air dari cangkir, masukan kembali ke cangkir melewati saringan berisi serbuk daun kering itu. harus kupastikan air jernih itu benar benar panas, sepanas mungkin, melebihi dan melewati titik didihnya. karena air jernih mendidih itu akan berulang kali keluar masuk cangkir, sehingga ketika sudah sesuai pekat yg diinginkan, tetaplah panas air itu. dan ya, kadang sejumput saja gulanya, minimal. pernah juga dicoba gula merah, lebih meresap manis dan lebih menyatu dengan tekstur rasa pekat tehnya. sayang, tingkat kesabaran yg dibutuhkan untuk ritual teh yg satu ini jarang bisa kudapatkan. oh ya, juga ada bunga-bungaan yg dijadikan teh. sungguh unik. bunga dikeringkan, biasanya jenis chrysant. ketika dikeringkan bunga menguncup, padat. cukup cemplungkan bunga ini ke teko atau cangkir beisi air, panas lebih baik, kemudian perlahan bunga pun ‘mekar’ dalam teko/cangkir. proses mekarnya menjadi pemandangan menyenangkan untuk diamati. kenikmatan visual melengkapi kenikmatan rasa. minuman hasil pemberian alam ini memang nikmat, tak terbantahkan. harus kuberi tabik dan hormat pada para pendeta budha di biara biara jaman cina purba, yg mengembangkan hasil pemberian alam yg sederhana ini menjadi salah satu pemberi warna hidup yg istimewa, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai variasinya. kuminum pagi, kuminum sore, dan lebih sering malam. menjadi ritual, sebelum menelaah ulang materi kuliah, dulu, di malam menjelang ujian. sebelum menelaah dan menuliskan laporan pekerjaan belakangan ini. atau tak perlu melakukan apa apa, cukup duduk atau berdiri di sisi jendela dan menyeruput dari bibir cangkir yg ditangkup lekat seluruh sepuluh jemari tangan. tapi ketika justru tak berniat melakukan apapun dan hanya ingin menghabiskan waktu menyeruput cairan sari daun yg pekat itu, akhirnya akupun sering terdorong mulai menulis, seperti saat ini. dan padanan situasi paling bernas untuk air pekat ngebul yg memanaskan telapak tangan ketika kutangkup cangkir itu, adalah jendela dengan gorden terbuka, saat hujan.
bermacam sudah, jasmine, chrysant, dilmah, english breakfast, vietnam, padang, india, cina, oolong, hijau, putih, kuning, berbagai rasa berbagai wangi lainnya, sudah pernah dicoba.

namun tetap saja, tak ada yg mengalahkan dan senikmat secangkir teh pahit panas antah berantah yg kuseruput ketika berteduh menunggu hujan saat menjemputmu, bersamamu, kuminum di sela mendengar tawamu ketika bercerita tentang betapa kakak kakak panitia lelaki seniormu berlomba bersikap baik padamu pada masa opspek itu, di warung samping masjid kampusmu itu dulu. dulu sekali, di masa itu.

dan tetap saja, awalnya, dasarnya, adalah air. jernih. bening. yg kemudian menjadi pekat karena pilihan yg kita isikan ke dalamnya. di cangkir itu. secangkir.

jarang memang, aku menyeduh kopi. namun larutan serbuk biji bijian ini selalu kusuka. secangkir saja. benar, sebagai seseorang dengan tingkat kesabaran yang rendah, sangat tertolong pada hadirnya kopi serta merta alias instan. sobek sachet tuangkan serbuk yg sudah tertakar dalam standar umum kadar serbuk biji, gula dan lainnya. cukup tuangkan air jernih mendidih ke cangkir yg sudah dijarahi isi sachet tadi, jadilah. mengepul. namun tentu saja, ada waktu dimana kusempatkan memilah memilih gelundungan arabica sebesar kacang polong. kumasukkan blender dicincang dirajam dicacah menjadi serbuk. baru kemudian aku saring dan hanya butir serbuk terhalus yg masuk cangkir kemudian panas dari air jernih mendidih merubah bentuk molekul molekul serbuk biji bijian menyatu menjadi cairan. terlalu encer untuk menjadi gel, terlalu pekat untuk hanya disebut air saja. menunggu air mendidih dan mencacah biji, prosesnya memakan waktu banyak? tentu saja. kita memang semakin dibuat lupa oleh jaman, lupa pada kenyataan bahwa nyaris semua hal terbaik yg bisa didapat dan kemudian bertahan lama bahkan seringnya abadi, tidak ada yg diperoleh dengan serta merta, tidak instan. selalu melalui sebuah gerakan bertahap dan bertingkat, proses. demikian pun rasa akan keindahan.
arabica, sesuai namanya berawal dari dataran tinggi di jazirah arab, tepatnya yaman, ethiopia, sudan. dan untuk menghasilkan biji arabica terbaik, pohonnya harus dibiarkan tumbuh sekitar 2555 hari. iya, duaribulimaratuslimapuluhlima hari. idealnya tumbuh di wilayah subtropis atau di wilayah tropis di pegunungan dengan ketinggian dan cuaca mendukung yg cukup sehingga suhunya mirip wilayah sub tropis. kelembaban udara dan zat hara tanah harus terjaga, begitu pula cahaya matahari harus cukup. begitulah memang proses yg harus ditempuh untuk menghasilkan arabica terbaik. sebagaimana pula cinta. robusta lebih tangguh dari arabica, tidak memerlukan perlakuan semanja arabica. gorengan yg tepat, menghasilkan aroma wangi yg menarik hidung tertentu bagi penggemar robusta. ada banyak yg suka aroma robusta dengan tingkat gorengan mendekati aroma ban mobil terbakar. aneh memang tapi itulah adanya. rasa memang rahasia hati. namun banyak kopi merupakan campuran, blend, arabica dan robusta. dan takaran yg tepat untuk robusta yg memiliki keasaman lebih rendah dibanding arabica namun kafeinnya lebih kuat, cukup mampu menghasilkan espresso yg nikmat bagi sebagian orang. espresso, kata yg berasal dari italia untuk; express, ekspres, cepat, segera. bukan, ini bukan penamaan untuk kopi sachet instan yg memang cepat proses membuatnya. namun penamaan kopi yg dihasilkan mesin yg menghasilkan air uap panas mendidih sehingga dihidangkan dengan cepat. capuccino, adalah espresso dengan busa susu atau krim. macchiato, caffe latte, frapuccino, mocha, americano, tubruk, dedak, pisin (itu lho, yg dituangkan ke tatakan gelas diseruput dari pinggir bibir tatakan), hitam, coklat, putih, apapun itu jenisnya, semua rasa semua variasi, pemberi kenikmatan penyukanya yg setara waktu yg terlewatkan ketika menghirup menyeruputnya. sebagaimana air pekat dari serbuk daun, maka air pekat dari serbuk biji ini pun menjadi padanan tak terhindarkan pasnya dengan jendela saat hujan. menangkupkan jemari ke cangkir membiarkan panas menjalar dari telapak tangan menghangatkan tubuh, dan menyeruput pelan sedikit demi sedikit. nikmat.

namun tetap saja, capuccino con panna di resto dekat gedung sate itu, yg krimnya pelit sedikit, yg sudah terlanjur dikalahkan dinginnya malam sehingga tak lagi panas, lebih nikmat. capuccino pesananmu yg akhirnya kuambil minum karena tak kau habiskan akibat terlalu sibuk memotong mungil mungil dan memilah memisahkan bagian lemak dari daging steak itu, yg akhirnya steak itu pun tak setengahnya kau habiskan namun memakan waktu dua kali lipat dibanding aku habiskan seporsi penuh tandas, tetap saja capuccino con panna sisamu itu terasa lebih nikmat dari kopi variasi manapun. mungkin karena ada bekas bibirmu di cangkir itu, mungkin ada sisa rasacita dirimu di larutan capuccino itu, atau mungkin karena aku terlalu dan selalu terperangah menikmati mengamati berbagai ekspresi bibir dan matamu sepanjang makan malam itu. senyum, cemberut, tertawa, memberengut, nyengir, tersipu. saat bersamamu. dulu sekali, di masa itu.

air, iya air.

unta menyimpan persediaan di punuknya, membuat ia mampu bertahan hidup di gersang padang pasir. konon tumbuhan menyerap menyimpan di akarnya. kaktus mampu meminimalkan penguapan air dari kulitnya. proses evolusi jutaan tahun menghasilkan kemampuan bertahan diri yg luar biasa bagi semua mahluk di muka bumi. dan air, menjadi salah satu syarat mutlak untuk hadirnya dan kelangsungan kehidupan. bagi sebagian (besar) kita, biasa saja dan santai kita habiskan dan hamburkan salah satu syarat paling mendasar dan utama bagi kehidupan ini. minum, mandi, seka, cuci, siram, dan banyak lainnya. tapi memang kecenderungan manusia untuk bertindak akan dibentuk karena keterbiasaan. ketika kita terbiasa dengan yg tersedia, ada, dan melimpah. maka kita akan jadi mahluk yg abai. ketika semua yg awalnya tersedia, ada, melimpah, tiba tiba terserabut dari keseharian kita barulah kita ditampar terbangun dari abai. betapa hal hal kecil yg sebelumnya menjadi bagian dari hal yg kita abaikan, menjadi terasa penuh arti penuh makna justru ketika ia akhirnya tiada. sesuatu yg lebih terasa ada ketika tiada. dan air, satu dari banyak hal yg sering kita abaikan. mengingat fungsinya yg amat sangat menyentuh dan memenuhi kebutuhan dasar manusia, tentu saja mengherankan bila air hanya diingat sesaat kala dahaga, dan ketika hasrat dahaga telah usai pun kemudian dilupakan. kalau air adalah mahluk yg memiliki rasa, tentu tak akan pernah mau ia diperlakukan seperti itu. tak elok kita melupakan dan menjadi abai terhadap air.

namun tetap saja, air yg paling teringat rasa fungsinya adalah air di tabung kecil di ujung batang bunga itu, tak sampai secangkir, mungkin sepersepuluh cangkir saja isinya. tabung air yg berfungsi agar dapat selama mungkin terjaga kesegarannya. dan dengan ekspresi mata yg sulit disampaikan kata ketika kamu bergumam kaget campur senang saat kuserahkan padamu; “bunga? mawar putih?”. dan aku tak perlu berkata kata namun tersampaikan sudah isi hati dan dia tak menjawab dengan kata namun dengan kecupan lembut di pipi kiriku. dan bunga itu itu tetap saja kamu simpan ketika tabung kecil berisi air itu tak lagi mampu melawan kehendak alam agar mawar putih itu mengering, dan kemudian kamu selipkan di buku harianmu. dulu sekali, di masa itu.

[alternate ending 1]
air, iya air. bening. jernih. itu pula yg akhirnya tak kuasa kutahan agar tak jatuh di pipiku ketika akhirnya alam tak mau mengalah sebagaimanakuatpun aku mencoba melawan.

kamu harus pergi.

 

[alternate ending 2]
dan masih saja air, iya air. bening, jernih. itu pula yg jatuh di pipimu, ketika bertahun kemudian kuselipkan besi cemerlang bundar melingkar di jari manismu. itu pula yg berkali kali jatuh di pipimu, ketika sulit dipahami oleh jiwa lembutmu bagaimana aku bisa sering bertindak seberesiko itu dan membuatmu dikuasai perasaan, yg menurutku berlebihan, khawatir.
dan masih saja air, iya air. bening, jernih. itu pula yg jatuh di pipi ibumu, ketika melepasmu agar resmi penuh menjadi bagian diriku. itu pula yg jatuh di pipi ibuku, lebih karena tak menyangka anak laki lakinya yg satu ini bersedia menambatkan diri pada satu labuhan.
dan masih saja air, iya air. bening, jernih. yg akhirnya jatuh pula di pipiku ketika buah hati kita menangis keras menghirup kuat kuat oksigen pertama dalam hidupnya yg ia hirup langsung dari hidungnya ke paru paru. dan entah berapa banyak, bila menggunakan standar cangkir, buah hati kita dibersihkan dengan air, iya air yg steril tentu saja, oleh perawat itu sebelum diserahkan padamu.

dan secangkir air pekat panas aku hirup pelan, sedikit demi sedikit, mengamatimu dengan telaten mengasuh buah hati.

hari demi hari. hari demi hari. hari demi hari.

 

[alternate ending 3]

dan masih saja air, iya air. bening, jernih. itu pula yg jatuh di pipimu, ketika bertahun kemudian kuselipkan besi cemerlang bundar melingkar di jari manismu. dulu, di saat itu.
dan masih saja air, iya air. bening. jernih. itu pula yg masih saja berkali kali jatuh di pipimu, ketika sulit dipahami oleh jiwa lembutmu bagaimana aku bisa sering bertindak seberesiko itu dan membuatmu dikuasai perasaan, yg menurutku berlebihan, khawatir.
dan masih saja air, iya air. bening, jernih. itu pula yg jatuh di pipi ibumu, ketika melepasmu agar resmi penuh menjadi bagian diriku. itu pula yg jatuh di pipi ibuku, lebih karena tak menyangka anak laki lakinya yg satu ini bersedia menambatkan diri pada satu labuhan.
dan masih saja air, iya air. bening, jernih. yg akhirnya jatuh pula di pipiku ketika buah hati kita menangis keras menghirup kuat kuat oksigen pertama dalam hidupnya yg ia hirup langsung dari hidungnya ke paru paru. dan entah berapa banyak, bila menggunakan standar cangkir, buah hati kita dibersihkan dengan air, iya air yg steril tentu saja, oleh perawat itu sebelum diserahkan padamu.

dan secangkir air pekat panas aku hirup pelan, sedikit demi sedikit, mengamatimu dengan telaten mengasuh buah hati. hari demi hari.

air, iya air. bening. jernih. itu pula yg jatuh di pipiku ketika akhirnya alam tak mau mengalah sebagaimakuatpun aku mencoba melawan. “lepaskan saja, luapkan semua sekarang. nanti tak boleh dan jangan sampai setetespun air mata menjatuhi jenazah almarhumah”. demikian ucap para sahabat dan ustadz itu sambil mengusap punggung dan menepuk bahuku, menyampaikan simpati dan berupaya empati, menenangkanku yg seperti biasa sering tak bersetuju dengan takdir. selalu kupikir, melihat betapa higien dirimu dan membandingkan kebiasaan dan gaya hidupku yg cenderung menikmati resiko, seharusnya aku yg mendahului. atau mungkin memang pada dasarnya aku seorang yg egois yg tak ingin menjadi seseorang yg ditinggal terlebih dahulu. tapi memang banyak rahasia yg bukan menjadi kemampuan manusia untuk mengungkap. mungkin ini salah satunya

air, iya air. bening. jernih. yg membersihkan tubuh kita sesaat setelah lahir. dan pada akhirnya air pula yg membersihkan tubuh kita ketika berpulang. dan ustadz akhirnya mempersilakan memperbolehkanku (http://goo.gl/F8pzu) membersihkanmu, membalutmu dengan kain putih itu, dan setelah memastikan menguatkan diri tak akan jatuh air mataku padamu, kukecup dahi yg sebelumnya ratusan ribuan kali kucium. betapa seharusnya -inginnya- jutaan kali saja sebelum hari itu kukecup selalu.